Sabtu, 13 Desember 2025

Era Kecerdasan

 



Evolusi Orang Pintar

Manila, Jumat sore, 05 Desember.

Sesi penutup di 11th ADB International Education and Skills Forum itu seharusnya menjadi sesi "ngantuk". Sudah hari ketiga. Peserta sudah bersiap meninggalkan markas besar ADB. Koper sudah dikemas.

Tapi wanita muda di panggung itu justru bikin mata terbelalak.

Namanya Lyqa Maravilla. Dia seorang Education Influencer. Judul presentasinya The Future of Education: Learning beyond the Classroom. Gayanya lugas. Slide presentasinya minimalis, tapi menohok.

Dia memaparkan satu slide yang membuat saya termenung. Tentang bagaimana cara manusia mendapatkan ilmu berubah drastis. Seketika saya sadar. Cara kita belajar pun harus ikut berevolusi. Jika tidak, otak kita bukan hanya usang, tapi tidak lagi relevan.

Mari kita bedah evolusi ini satu per satu.

Dulu, kata Lyqa, kita ada di Era Print. Informasi itu on hand. Ada di tangan. Barangnya fisik. Buku, koran, diktat.

Orang pintar di era ini adalah "Si Penghafal". Siapa punya buku, dia raja. Siapa hafal tahun sejarah, dia juara kelas.

Maka, cara belajar terbaik saat itu adalah "Deep Work". Ketekunan. Kita dipaksa membaca dari halaman satu sampai tamat. Tidak ada tombol search. Musuh utamanya adalah kebosanan. Tapi justru di situ kuncinya, otak dilatih untuk fokus dalam durasi lama.

Lalu zaman berganti. Masuk Era Search. Informasi itu on demand. Kapan butuh, ketik. Google menjawab. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu.

Orang pintar di era ini berubah menjadi "Si Pencari". Siapa yang keyword-nya paling jitu, dia menang.

Di sini, cara belajar "menghafal" sudah basi. Cara belajar barunya adalah "Skeptis". Jadilah kurator. Jangan telan informasi bulat-bulat. Bandingkan Sumber A dan Sumber B. Jadilah detektif. Yang tidak jeli memilah, akan mati keracunan informasi sampah.

Sekarang? Kita ada di Era Algorithm.

Lihat gawai kita. Kita tidak lagi mencari informasi. Merekalah yang mencari kita. Algoritma TikTok, Instagram, YouTube menyodorkan berita, hiburan, bahkan pelajaran. Informasi itu handed. Disuapkan.

Bahayanya di era ini bukan sekadar kita jadi pasif. Bahayanya adalah matinya nuansa. Algoritma didesain untuk memberi makan ego kita. Apa yang kita suka, itu yang terus datang. Kita terkurung dalam tempurung kenyamanan (echo chamber).

Orang pintar di era ini seringkali disalahartikan sebagai "Si Viral". Padahal, tantangan sesungguhnya adalah menjadi "Si Waras". Orang yang mampu tetap objektif di tengah gempuran konten yang memancing emosi.

Caranya? Lyqa menawarkan konsep "Reach to Teach". Lawan arus. Sengaja cari hal yang tidak Anda sukai untuk meluaskan perspektif. Dan ajarkan kembali. Karena di era algoritma, kita baru benar-benar paham setelah mencoba mengajarkannya ke orang lain.

Tapi pikiran saya tidak berhenti di slide Lyqa itu. Saya membayangkan apa yang terjadi di depan mata. Lyqa berhenti di era Algoritma. Padahal, dunia sudah berlari lebih kencang. Kita sudah masuk era keempat. Generative AI.

Ini era ChatGPT. Era Claude. Era Copilot. Era DeepSeek. Era Gemini.

Di fase ini, kita tidak lagi sekadar mencari atau disuapi. Kita meminta. "Buatkan saya pidato," "Ringkaskan buku ini," "Jelaskan fisika kuantum dengan gaya anak TK."

Mesin tidak lagi memberikan link. Mesin memberikan jawaban. Dia mensintesis. Dia menjadi asisten pribadi. Orang pintar di era ini bukan lagi yang hafalannya kuat, tapi yang "Pandai Bertanya". Yang prompt-nya bagus, hasilnya bagus.

Cara belajarnya? "Dialog Iteratif". Jadikan AI sebagai lawan tanding (sparring partner). Minta dia mengkritik tulisan kita. Minta dia mendebat argumen kita. Kita belajar dari proses ping-pong pemikiran itu.

Lalu, apa setelah ini?

Para ahli teknologi bilang, kita sedang menuju era kelima, Post-Gen AI. Atau sering disebut Agentic AI.

Kalau Generative AI itu seperti konsultan yang pintar bicara, Agentic AI itu seperti manajer yang punya kaki dan tangan. Nanti, kita tidak perlu mengetik. Cukup perintah lisan ke HP atau kacamata pintar: "Saya mau liburan ke Bali, tolong atur semuanya."

Si AI akan bekerja sendiri. Dia yang booking tiket, sewa hotel, bayar tagihan, hingga negosiasi harga dengan AI milik maskapai. Teknologi menjadi Invisible Interface.

Mari kita tarik garis evolusinya. (1) Era Print. Kita diperbudak Hafalan. Beban otak: Berat. Butuh Ketekunan. (2) Era Search. Kita sibuk Memilah. Beban otak: Sedang. Butuh Ketelitian. (3) Era Algorithm. Kita dinina-bobokan Bias. Beban otak: Ringan. Butuh Kesadaran. (4) Era Gen AI. Kita menjadi "Mandor". Beban otak: Fokus ke Strategi. (5) Era Post-Gen. Kita menjadi Penentu Arah. Beban otak: Pertimbangan Moral (Moral Judgment).

Ada paradok disini.

Ketika mesin mengambil alih segalanya, muncul satu tantangan baru yang krusial. Otak kita terancam sindrom "Popcorn Brain" atau malah “Brain Rot”. Pikiran yang melompat-lompat, tidak tahan fokus, dan kecanduan gratifikasi instan ala video 15 detik.


Maka, di era masa depan ini, justru ada satu keterampilan "kuno" yang kembali menjadi kemewahan dan keunggulan kompetitif. Deep Reading (Membaca Mendalam).

Mengapa Deep Reading menjadi kunci?

Pertama, Membangun Struktur Berpikir. AI bisa memberi kita fakta dan ringkasan dalam hitungan detik. Tapi AI tidak bisa memberi kita "logika berpikir" dan pemahaman sebab-akibat (causality). Hanya dengan membaca buku secara mendalam, otak kita terlatih memahami kompleksitas.

Kedua, Internal Knowledge Base. Kita tidak akan bisa memberi perintah (prompt) yang cerdas kepada AI jika kepala kita kosong. Kreativitas dan intuisi hanya muncul jika kita punya endapan pengetahuan. Membaca mendalam adalah cara mengendapkan ilmu itu.

Tanpa Deep Reading, kita akan memiliki pengetahuan yang luas, tapi dangkal.

Namun, ada realitas pahit. 

Sementara dunia bicara tentang Agentic AI dan Deep Reading, sistem pendidikan kita sebagian masih berkutat di Era Print. Kita masih menguji anak-anak dengan hafalan yang bisa dijawab Gen AI dalam orde detik.

Akan terjadi ketimpangan kognitif. Ada sekelompok kecil orang yang mampu menyuruh AI karena mereka punya kedalaman berpikir, dan ada massa besar yang hanya menjadi objek algoritma AI.

Maka, evolusi ini memaksa kita kembali ke fitrah.

Lyqa menutup presentasinya dengan kalimat indah, "We lose what we don't use, but the world will forget what we don't share".

Saya ingin tambahkan. Di masa depan, "Kepintaran" (Intelligence) itu murah. Mesin memilikinya dalam jumlah tak terbatas. Yang mahal adalah Kesadaran (Consciousness) dan Kebijaksanaan (Wisdom).

Mesin bisa mencarikan data kemiskinan (Search). Mesin bisa membuatkan strategi pengentasan kemiskinan (Gen AI). Mesin bahkan bisa mentransfer bantuan sosial secara otomatis (Post-Gen).

Tapi mesin tidak bisa merasakan pedihnya kemiskinan. Mesin tidak punya empati. Mesin tidak punya niat baik.

Guru masa depan tidak lagi mengajar "apa itu 1+1". Guru mengajar "kenapa kita harus jujur saat berhitung". Sekolah tidak lagi sekadar menguji hafalan sejarah, tapi menguji kebijaksanaan mengambil hikmah agar tragedi tak terulang.

Semakin canggih teknologinya, semakin manusia dipaksa untuk menjadi manusiawi.

Jadi, jangan takut dengan era AI. Takutlah kalau di era secanggih itu, hati kita justru membatu. Takutlah jika kita pintar memerintah mesin, tapi lupa caranya memanusiakan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Era Kecerdasan

  Evolusi Orang Pintar Manila, Jumat sore, 05 Desember. Sesi penutup di 11th ADB International Education and Skills Forum itu seharusnya men...